Tupoksi Kelurahan

(Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 121 Tahun 2020 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Kemantren dan Kelurahan)

Kedudukan

Kelurahan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Mantri Pamong Praja. Kelurahan dipimpin oleh Lurah.

Tugas

Kelurahan mempunyai tugas membantu Kemantren dalam mengoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan, ketenteraman dan ketertiban umum, pelayanan, informasi dan pengaduan, perekonomian, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan. 

Fungsi

Kelurahan mempunyai fungsi:

a. penyelenggaraan perencanaan pemerintahan, ketenteraman, ketertiban umum, pelayanan, informasi, pengaduan, perekonomian, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan; 

b. penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, ketenteraman, dan ketertiban umum pada tingkat Kelurahan; 

c. penyelenggaraan kegiatan perekonomian dan  pembangunan pada tingkat Kelurahan;

d. penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan; 

e. penyelenggaraan pembinaan teknis kelembagaan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan; 

f. pengoordinasian upaya ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat;

g. pengoordinasian dan fasilitasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Perangkat Daerah/unit kerja di tingkat Kelurahan; 

h. pengoordinasian pelaksanaan pelayanan perizinan dan nonperizinan sesuai dengan kewenangan Kelurahan; 

i. pelaksanaan sebagian kewenangan Mantri Pamong Praja yang dilimpahkan kepada Lurah; 

j. pengoordinasian pelaksanaan sebagian urusan keistimewaan di tingkat Kelurahan; 

k. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan kesekretariatan Kelurahan; 

l. pembinaan dan pengoordinasian penyelenggaraan tugas dan fungsi kelompok jabatan fungsional pada Kelurahan; 

m. pengoordinasian penyelenggaraan pengelolaan kearsipan dan perpustakaan Kelurahan; 

n. pengoordinasian pelaksanaan reformasi birokrasi, sistem pengendalian internal pemerintah, zona integritas, ketatalaksanaan, dan budaya pemerintahan Kelurahan; 

o. pengoordinasian pelaksanaan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan pada Kelurahan;

p. pengoordinasian pelaksanaan pemantauan, pengendalian, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan tugas Kelurahan; dan 

q. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugasnya.

I     BATAS WILAYAH
      Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten
      Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut
      Sebelah utara : Kabupaten Sleman
      Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman
      Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
      Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman
     Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 2419II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 4926II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut


II     KEADAAN ALAM
      Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
      Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
      Bagian tengah adalah Sungai Code
      Sebelah barat adalah Sungai Winongo


III     LUAS WILAYAH
      Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY
      Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 428.282 jiwa (sumber data dari SIAK per tanggal 28 Februari 2013) dengan kepadatan rata-rata 13.177 jiwa/Km²


IV     TIPE TANAH
      Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan.  Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)


V     IKLIM
      Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%.  Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220°  bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam


VI     DEMOGRAFI
      Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km².  Angka harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun.

Antara Yogyakarta, Tegalrejo dan Diponegoro

Sejarah Kota Yogyakarta

Pembentukan wilayah Yogyakarta dimulai saat adanya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari tahun 1755 yang memisahkan wilayah Mataram menjadi 2 bagian, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Sejarah Perjanjian Giyanti bermula dari konflik yang terjadi di Kerajaan Mataram. Konflik bermula dari pertikaian tiga calon pewaris Kerajaan Mataram, yaitu Pangeran Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian antara VOC di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel, pihak Kerajaan Mataram yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi sebagai siasat VOC memecah belah Kerajaan Mataram.

Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I (Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah).

Pangeran Mangkubumi segera menetapkan bahwa daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta).

Tempat yang dipilih sebagai pusat pemerintahan dan ibukota Ngayogyakarta (Yogyakarta) adalah Hutan Beringin yang memiliki batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan.

Lokasi ini dianggap strategis berdasar letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.

Di Hutan Beringin terdapat sebuah desa kecil bernama Pachetokan, dan didalamnya terdapat suatu pesanggrahan bernama Garjitowati. Pesanggarahan ini dahulu dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dan kemudian namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan Beringin untuk didirikan Kraton.

Selama pembangunan Kraton tersebut, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping, yang juga tengah dibangun. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton.

Setahun kemudian, Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang selanjutnya ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Kejadian ini terjadi tanggal 7 Oktober 1756 sehingga tanggal 7 Oktober ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Kota Yogyakarta.

Tegalrejo dan Diponegoro

Tegalrejo menjadi salah satu wilayah yang berada di daerah Yogyakarta. Tepatnya berada di sebelah barat laut kraton Yogyakarta  dan terletak diantara Sungai Winongo dan Sungai Code. Pada awalnya, tlatah Tegalrejo ini dulu terlantar hingga permaisuri Sultan HB I yaitu Kanjeng Gusti Ratu Ageng pada 1790 (saat putranya bertahta sebagai Sultan HB II) menyatakan keluar dari kraton dan mesanggrah di Ndalem Tegalrejo. Beliau menyatakan keluar dari kraton karena sering berselisih dengan anaknya dan merasa kecewa sehingga membuka lahan baru di barat laut kraton.

Seperti yang dituturkan Tembang Sinom dalam Babad Diponegoro berbunyi :

"Kanjeng Ratu Geng winarni/pan asring selaya neki/lan kang putra pribadi/dadya mutung adhudhukuh/babat kang ara-ara/mapan lajeng den dalemi…"

(Perihal Ratu Ageng/betapa sering beliau berselisih/dengan putranya sendiri/maka ia kecewa lalu pergi/membuka lahan baru/tanah-tanah terlantar digarapnya/lantas menetap tinggal di sana…)

Daerah yang dibuka dan digarap oleh Kanjeng Gusti Ratu Ageng beserta pengikutnya kemudian menjadi daerah subur dan menjadi pusat pendidikan agama Islam. Sehingga banyak orang yang kemudian menetap di daerah itu. Selanjutnya daerah itu disebut Tegalrejo (tegal=lahan, rejo=ramai).

Ratu Ageng Tegalrejo juga mengasuh cicitnya yang bernama Raden Mas Ontowiryo (Pangeran Diponegoro) yang merupakan putra Sultan HB III.

Sosok Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai Perang Jawa karena terjadi di tanah Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara pada tahun 1825 hingga 1830.

Perang tersebut terjadi karena Pangeran Diponegoro tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Selain itu, sejak tahun 1821 para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.

Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda saat itu, Van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Beliau kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.

Kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo menjadi saksi bisu perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah. Saat ini, kediaman Pangeran Diponegoro diubah menjadi Museum Sasana Wiratama. Di Museum tersebut dibangun dengan bertujuan untuk mengenang sosok dan Perjuangan Pangeran Diponegoro sekaligus juga untuk menyimpan benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan Pangeran Diponegoro.